Selasa, 21 April 2009

Andai Kartini Khatam Mengaji...


Sejarah, penggal waktu yang telah ditinggalkan. Sejarah, hanyalah saksi bisu
yang bergantung pada kacamata manusia untuk membacanya.
Sejarah bisa berarti beda jika kacamata baca manusia juga berbeda.
Adalah sebuah keharusan untuk membaca sejarah secara obyektif berdasarkan fakta.
Demikian halnya dengan perjuangan Kartini.
Benarkah Kartini menginginkan kaum wanita mengejar kesetaraan kedudukan dengan kaum laki-laki di semua bidang ?
Obyektifitas adalah syarat utama untuk mengkaji sebuah sejarah. Tanpa ada
semangat obyektifitas, sebuah peristiwa sejarah dapat dimaknai dan
disalahgunakan sesuai dengan kepentingan pihak yang bersangkutan. Untuk
mendukung sebuah pendapat atau mewujudkan sebuah tujuan, kisah sejarah bisa
dipenggal, dihilangkan atau justru ditambahi penekanan pada bagian-bagian
tertentu. Penyusunan sejarah seperti ini hanya akan mengantarkan masyarakat
kepada sebuah kesimpulan yang salah, bukan kepada pelajaran sebenarnya yang ada
dibalik kisah kehidupan sang tokoh.
Demikian halnya dengan sejarah perjuangan R.A Kartini. Selama ini yang dipahami
dan dicatat dari perjuangan Kartini adalah semangat emansipasi untuk menjadikan
kaum wanita mempunyai hak yang sama dan sejajar dengan kaum laki-laki. Sehingga
yang terlihat kemudian adalah wanita Indonesia yang tergopoh-gopoh untuk
menempatkan diri pada posisi-posisi yang didominasi oleh kaum pria. Kata
"emansipasi" telah bergeser kearah liberal, gender, feminisme dan ide-ide
penentangan terhadap fitrah kaum wanita yang memang berbeda dengan lawan
jenisnya.

Kartini, Antara Dominasi Adat dan Pengaruh Barat

Menelisik kehidupan seorang tokoh tak terlepas dari lingkungan internal dan
eksternal yang membentuk kepribadiannya. Kartini tumbuh dalam dua suasana dan
pemikiran yang saling bertentangan satu dengan yang lain. Sebagai keturunan
ningrat, Kartini tumbuh di lingkungan yang kuat dengan adat istiadat.
Di satu sisi, keningratan yang ada padanya, memungkinkan Kartini untuk memiliki
teman-teman dari Belanda yang mengagungkan kebebasan. Dari surat-surat Kartini
yang terhimpun, nampak bahwa jalinan persahabatan ini telah menyumbangkan sebuah
pemikiran tersendiri bagi perkembangan dirinya.
Kartini tumbuh di lingkungan Jawa yang teguh memegang adat-istiadat. Di tengah
kuatnya dominasi adat, Kartini berani berdiri untuk menantang semua adat itu.
"Peduli apa aku dengan segala tata cara itu... segala peraturan, semua itu
bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan
bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu... tapi sekarang mulai
dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini, dan Kardinah) tidak ada tata cara
lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai batas-batas mana cara
liberal itu boleh dijalankan" (Surat Kartini kepad Stella, 18 Agustus 1899).
Kartini memahami bahwa setiap manusia sederajat dan mereka berhak untuk mendapat
perlakuan yang sama. Kartini menolak adat Jawa yang membedakan manusia
berdasarkan asal keturunannya.
Kebencian Kartini terhadap segala bentuk etiket yang diskriminatif, mendorongnya
untuk mengintip nilai-nilai yang berlaku di kalangan teman-teman Belandanya.
Kartini menganggap bahwa peradaban mereka lebih tinggi dibandingkan masyarakat
Jawa. Hal ini terungkap dari petikan suratnya "Orang kebanyakan meniru kebiasaan
orang baik-baik; orang baik-baik itu meniru perbuatan orang yang lebih tinggi
lagi, dan mereka itu meniru yang tertinggi pula ialah orang Eropa" (Surat
Kartini kepada Stella, 25 Mei 1899).
Tak salah jika Kartini memiliki kesimpulan seperti itu. Penjajah Belanda telah
berhasil menanamkan rasa rendah diri kepada masyarakat pribumi. Diskriminasi
yang dilakukan Belanda telah mengajarkan bahwa pribumi atau bangsa Timur adalah
rendah dan bangsa Barat adalah mulia.
Kartini menyimpulkan bahwa pangkal kemunduran dan rasa rendah diri yang dialami
oleh masyarakat adalah mundur dan minimnya pendidikan yang mereka rasakan. Kaum
pribumi adalah kaum terbelakang dan bodoh. Pendidikan menjadi hak paten bagi
kalangan ningrat dan para penjajah.
Titik tolak perjuangan Kartini diawali dengan membenahi pendidikan di kalangan
pribumi, tak terkecuali kaum wanita. Kartini membuat nota yang berjudul "Berilah
Pendidikan Kepada Bangsa Jawa" kepada pemerintah kolonial. Dalam nota tersebut,
Kartini mengajukan kritik dan saran kepada hampir semua Departemen Pemerintah
Hindia Belanda, kecuali Departemen angkatan Laut (Marine). Kartinipun merasa
perlu untuk belajar ke Barat. "Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland,
karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah
kupilih" (Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 1900).
Barat telah menjadi panutan dan kiblat Kartini untuk melepaskan diri dari
kungkungan adat. "Pergi ke Eropa. Itulah cita-citaku sampai nafasku yang
terakhir" (Surat Kartini kepada Stella, 12 Januari 1900). Namun cita-cita ini
harus kandas di tangan para sahabat-sahabatnya yang tak menginginkan Kartini
memiliki pemahaman lebih maju lagi.

Pergolakan Pemikiran Setelah Mengenal Islam

Sulit bagi Kartini untuk bertahan di lingkungan yang bertentangan dengan
pemikirannya. Di tengah kuatnya kungkungan adat dan derasnya serangan pemikiran
Barat, Kartini mencoba mencari jawaban.

Tahun-tahun terakhir sebelum wafat, Kartini menemukan jawaban atas
pertanyaan-pertanya an yang bergolak di dalam pemikirannya. Ia mencoba mendalami
ajaran yang dianutnya, yaitu Islam. Ajaran Islam pada awalnya tak mendapat
tempat di benak Kartini. Hal ini dikarenakan pengalaman yang tak mengenakkan
dengan Sang ustadzah. Sang ustadzah menolak menjelaskan makna ayat yang sedang
diajarkan.

"Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa ? Agama Islam
melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya
agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku,
kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya ? Al Quran terlalu suci, tidak
boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Di sini tidak ada orang yang
mengerti bahasa Arab.

Di sini orang diajar membaca Al Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya.
Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna
yang dibacaya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa
Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang
kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa,
asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella ?" (Surat Kartini
kepada Stella, 6 November 1899).

Namun, pertemuannya dengan kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar, seorang ulama
besar dari Darat, Semarang, telah merubah segalanya. Kartini tertarik pada
terjemahan Surat Al Fatihah yang disampaikan sang kyai. Kartinipun mendesak
salah satu paman untuk menemaninya bertemu sang kyai. Berikut adalah petikan
dialog antara Kartini dan Kyai Sholeh Darat, yang ditulis oleh Nyonya Fadhila
Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat.

"Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang
berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?". Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar
pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu. "Mengapa Raden Ajeng
bertanya demikian?" Kyai Sholeh Darat balik bertanya. "Kyai, selama hidupku baru
kali ini aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran
yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan main rasa syukur
hatiku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para
ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al_Quran dalam bahasa
Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera
bagi manusia?"

Setelah pertemuannya dengan Kartini, Kyai Sholeh Darat tergugah untuk
menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Pada hari pernikahan Kartini, Kyai
Sholeh Darat menghadiahkan terjemahan Al-Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril
Quran), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah
sampai dengan surat Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang
sesungguhnya. Tapi sayang tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal
dunia, sehingga belum selesai diterjemahkan seluruh Al Quran ke dalam bahasa
Jawa.

Andai saja Kartini sempat mempelajari keseluruhan ajaran Islam (Al Quran) maka
tidak mustahil jika ia akan menerapkan semaksimal mungkin semua kandungan
ajarannya. Kartini sangat berani untuk berbeda dengan tradisi adatnya yang sudah
terlanjur mapan. Kartini juga memiliki modal ketaatan yang tinggi terhadap
ajaran Islam. Pada mulanya beliau adalah sosok paling keras menentang poligami.
Tetapi setelah mengenal ajaran Islam, beliau mau menerimanya.

Upaya Meneladani Kartini

Upaya untuk menerjemahkan perjuangan Kartini oleh kaum wanita sekarang ini
nampaknya telah melampaui batas. Petikan surat Kartini berikut ini menegaskan
kesalahan penterjemahan kaum wanita Indonesia.

"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan
sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan
laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya
yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan
kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi
ibu, pendidik manusia yang pertama-tama" (Surat Kartini kepada Prof. Anton Dan
Nyonya, 4 Oktober 1902).

Tak ada sepatah katapun dalam surat tersebut yang mengajarkan wanita untuk
mengejar persamaan hak, kewajiban, kedudukan dan peran agar sejajar dengan kaum
pria. Kartini memahami bahwa kebangkitan seseorang ditandai oleh kebangkitan
cara berfikirnya. Kartini mengupayakan pengajaran dan pendidikan bagi wanita
semata-mata demi kebangkitan berfikir kaumnya agar lebih cakap menjalankan
kewajibannya sebagai seorang wanita.

Atas nama perjuangan Kartini, para wanita justru terjebak pada nilai-nilai
liberalisasi dan ide-ide Barat yang justru ditentang oleh sang pahlawan.
Perjuangan yang kini dilakukan oleh para feminis, pembela hak-hak wanita sangat
jauh dari ruh perjuangan Kartini. Kartini tidak menuntut persamaan hak dalam
segala bidang. Kartini hanya menuntut agar kaum wanita diberi hak untuk
mendapatkan pendidikan yang layak. Tak lebih dari itu.
Kartini bertekad untuk menjadi seorang muslimah yang baik dengan memenuhi
seruan Surat Al Baqarah ayat 193. Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari
gelap kepada cahaya telah mendoronganya untuk merubah diri dari pemikiran yang
salah kepada ajaran Allah. Tak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa tujuan
Kartini adalah mengajak setiap wanita untuk menjadi muslimah yang memegang teguh
ajaran agamanya.
"..., tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya
yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri
menganggap masyarakat Eropa itu sempurna ? dapatkah ibu menyangkal bahwa di
balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama
sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?" (Surat Kartini kepada Ny.
Abendanon, 27 Oktober 1902).

co-pas from: http://www.dakwahka mpusmalang. com/index. php?option= com_content&
view=article& id=139:andai- kartini-khatam- mengaji&catid= 34:jadwa& Itemid=55