Kamis, 03 Desember 2009

Cerita Pagi

Cerita Pagi


By: Ukhti Ummu Hani




Pagi ini, seperti biasa, sambil menunggu suamiku bersiap-siap ke kantor, aku duduk di teras dengan secangkir kopi dan HP – yang hampir tak pernah ketinggalan. Tidak lama kemudian, ibuku duduk disampingku. Entah apa yg ada dipikirannya, tiba-tiba saja dia membuka pembicaraan dengan pertanyaan, “Kenapa sih jaman sekarang orang slalu memandang orang lain dari hartanya? Mudah-mudahan kita bukan bagian dari orang-orang kayak gitu y….”

Ia pun mulai bercerita tentang uztadzahnya yang baru meninggal 2 bulan yang lalu.Namanya Udztadzah Mahani. Mungkin sebagian orang sudah mengenal orang mulia ini. Jujur saja, saya tidak mengenal sosok ini secara langsung. Tapi kepribadiannya yang mengagumkan menggugah hati saya.Mungkin diantara orang-orang kaya dan berpendidikan, sosok ini tidak dikenal atau yaaaa mungkin dia dikenal hanya sebagai guru ngaji yang miskin.

Ibu saya mengikuti pengajiannya setiap Rabu siang di Cawang. Saya tidak tahu, dimana lagi beliau mengajar. Rumahnya di daerah Larangan. Setiap Rabu, dengan baju yang sederhana, dia turun naik angkot dan bis (sekitar 6x turun naik bis atau angkot pulang-pergi) dari Larangan ke Cawang. Bukan jarak yang dekat untuk wanita usia 68 tahun. Kalau ada muridnya yang menawarkan untuk antar jemput dengan mobil, dia menolak halus.

Dia selalu berangkat sekitar jam 10an, sampai di Cawang menjelang Dzuhur. Setelah sholat Ashar dia pulang, sholat Magrib di salah satu masjid yang dia lewati dan sampai setelah Isya. Belum kalau bisnya lagi demo, bisa tengah malam baru sampai rumah.

Kalau kita terkagum-kagum dengan semangat Lintang di film Laskar Pelangi, kita juga pasti terkagum-kagum dengan perjuangan Uztadzah Mahani.Bayangkan, untuk wanita 68 tahun, harus berjalan sendiri dan pulang tengah malam – beliau tidak menikah dan tinggal dengan saudaranya – naik turun angkot, hanya untuk mengajar mengaji. Tak ada kata absen, selalu hadir walau diluar udaranya panas atau sedang musim hujan dan banjir, walau muridnya banyak yang tidak masuk. Ia tetap masuk karena tidak ingin mengecewakan murid-murid yang sudah hadir. Penghasilannya hanya dari uang sukarela murid-muridnya, bukan dari iuran tetap. Apa kita bisa seperti beliau di umur 68 tahun?

Tiba-tiba di bulan Ramadhan kemarin, beliau meninggal.Ia hanya sakit 2 hari dan meninggal di rumah sakit. Sebelum meninggal, ia bilang pada saudaranya kalau ini sakit maut. Semua orang yang mengenalnya terhentak mendengar kabar duka ini. Tiga hari sebelum meninggal dia masih beraktivitas keluar rumah dan di hari meninggalnya dia ada jadwal mengajar mengaji di satu tempat.Semua muridnya datang takziah ke rumahnya dan sebelum dikubur, murid-muridnya mengkhatamkan Qur’an untuknya.

Beberapa minggu sesudah meninggal, seseorang bercerita kepada kami kalau sebenarnya Udztadzah Mahani menderita penyakit yang cukup parah (semacam kanker, tapi entah dimananya) yang mungkin untuk orang lain akan membuatnya tergeletak di tempat tidur sampai akhir hayatnya. Tapi dengan kuasa dan ridho Allah, ia tidak merasakan sakit dan tetap bisa mengajar mengaji sampai ajal menjemputnya.

Setelah meninggalnya pula kami baru mengetahui kalau sebenarnya ia lulusan Al Azhar Kairo. Embel-embelnya Prof. Dr. Gelarnya setingkat dengan Quraish Shihab yang juga lulusan Al Azhar. Tapi ia tidak mau memakai gelarnya karena ke-tawadhu-annya.

Saya pernah mendengar seseorang berkata, “Untuk menjadi Wali Allah di jaman sekarang, tidak perlu ceramah kesana kemari, masuk TV, dipanggil orang dengan bayaran yg besar. Tidak perlu menjadi pintar tapi kerjanya melecehkan orang lain, atau memandang orang hanya dari hartanya.”

Akui saja, banyak sekali uztad-uztad yang seperti itu jaman sekarang. Bahkan banyak uztad-uztad pintar dari daerah-daerah yang lari ke Jakarta, karena bisa menangguk uang banyak di Jakarta, padahal di daerah asalnya banyak orang yang perlu dan ingin belajar agama.Untuk menjadi Wali Allah di jaman sekarang cukup jaga hati kita dari urusan keduniaan saja, karena itu saja sudah susah banget. Bukan saja urusan nafsu kita untuk kaya, atau kesenangan kita untuk berfoya-foya tapi juga dari hal-hal kecil yang sudah menjadi bagian dari hidup kita.Seperti masalah gossip yang sudah menjadi makanan sehari-hari. Kadang kita sudah menghindari infotainment, eee ada teman nelpon bawa gossip baru, udah gitu kita juga senang mendengarnya. Bahkan ada yang bilang, itu bukan gossip, itu beneran kok….haduh! Kl beneran namanya GOSSIP, kl gak bener namanya FITNAH!

Kita juga tanpa sadar menjudge orang, “si ini beginilah”, “heran si itu begitu”. Padahal kita tidak pernah tahu, mungkin orang-orang yang kita ‘cap tidak benar’, lebih baik di mata Allah.And one thing, yang paling susah dari semuanya adalah menundukkan hati kita untuk tawadhu. Tanpa sadar kita kadang suka menjadi riya (hayo ngaku…). Sebenarnya itu manusiawi. Orang2 seperti Uztadzah Mahani sangat mungkin untuk menjadi terkenal, bahkan mungkin kalau beliau terkenal, akan lebih terkenal dari uztadzah-uztadzah yang sekarang. Tapi ia tidak mau. Di saat kita terkenal, semua orang akan menyanjung kita. Mengelu-elukan kita. Dan lama-lama hati akan berbalik. Tumbuh keriyaan, lama-lama berubah jadi sombong, dll. Menundukkan hati kita adalah rintangan kita yang paling besar. Mungkin karena itu ia menolak ketenaran, wallahu’allam.

Yang pasti, beliau mungkin tidak terkenal di dunia, tapi beliau pasti terkenal di ‘langit’, seperti Uwais Al Qorny.Tulisan ini saya tulis bukan untuk menyindir atau mengkritik orang-orang tertentu, tapi sekadar rasa kagum dan bangga bisa mengenal orang-orang seperti Udztadzah Mahani. Penulis juga orang yang masih belajar dan jauh dari sifat-sifat mulia di atas. Semoga cerita ini bisa menjadi inspirasi kita semua.